Kontak

Monday 25 April 2016

Air pemicu perang dunia ke 3


Air bisa memicu perang global, atau dikenal perang dunia III. Jika sebelumnya perang dunia I dipicu perebutan rempah-rempah, perang dunia II soal perebutan sumber daya alam seperti mineral dan batu bara (minerba) seperti emas, bauksit, nikel, aluminium hingga minyak dan gas.
Tapi ketika semua sumber daya itu telah habis dikeruk, maka yang tersisa adalah air.
Sumber daya utama kehidupan ini semakin hari volumenya semakin menurun. Hal ini menyusul tingkat konsumtif masyarakat yang makin besar. Di dunia, sebagian negara sudah mulai kehabisan sumber mata air. Mereka kemudian akan mencari daerah yang memiliki air berlimpah.
Dan Republik ini, masih menjadi satu-satunya penyimpan sumber daya alam berlimpah khususnya air. Lihat saja, daratan Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dikelilingi oleh air. Sayangnya kita tidak bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Justru, pihak asing lah yang datang dan menguasai kekayaan alam tersebut.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo pernah mengingatkan, saat ini Indonesia menjadi incaran negara asing di antaranya dengan melakukan proxy war.
Gatot berpendapat negara-negara asing itu berupaya menguasai kekayaan alam Indonesia dengan berbagai cara salah satunya membuatproxy war yakni penggunaan pihak ketiga untuk berperang.
Semua ingin menguasai Indonesia. Apakah 28 tahun lagi, pada 2043, anak dan cucu kita bisa hidup layak?
Saat ini lebih dari 70 persen konflik di dunia berlatar belakang energi. Selanjutnya konflik akan bermotif penguasaan sumber pangan, air bersih dan energi hayati yang semuanya berada satu lokasi yaitu di daerah ekuator.
Di belahan bumi ada tiga kawasan ekuator yaitu Indonesia, Afrika Tengah, dan Amerika Latin yang memiliki tanah subur sepanjang tahun untuk bercocok tanam.
Dalam UUD 1945 Pasal 33 sudah jelas disebutkan tentang manfaat SDA. Pada ayat 3 disebutkan: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dalam UU No 7 Tahun 2004 Tentang Pengolahan Sumber Daya Air (SDA) pasal 5 disebutkan:
Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif.
Dilanjutkan Pasal 6 ayat 1 bunyinya: Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 6 ayat 2 bunyinya: Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.
Jelas sekali air menjadi prioritas dalam kemakmuran rakyat. Sementara kenyataannya, air kini malah dikuasai badan dan koorporasi. Untuk dapat minum air di negeri sendiri kita harus membeli. Betapa mirisnya.
Proyek yang mencanangkan bahwa pada 2019 seluruh masyarakat Indonesia 100 persen telah terpenuhi haknya atas air bersih, adalah proyek ambisius. Hal ini terlihat hingga akhir tahun 2015, target pemenuhan hak atas air bagi rakyat masih belum tercapai. Di sisi lain, PDAM yang diharapkan menjadi aktor untuk pemenuhan hak tersebut, mayoritas tercatat mengalami kerugian, sehingga sulit untuk berkembang.
Kesulitan yang dimiliki PDAM adalah kompetisi dengan banyaknya infrastruktur bangunan-bangunan bertingkat dalam hal pemanfaatan air. Hampir sebagian besar kota di Indonesia kini sedang menjalankan pembangunan sedang masif. Hal ini secara langsung berdampak pada ketersediaan air.
PDAM yang sering bilang rugi semakin terbebani karena ketersediaan air bersih yang hanya dimanfaatkan oleh hotel dan aparteman. Masifnya pembangunan mall, hotel, dan apartemen inilah yang menyebabkan adanya kompetisi untuk mendapatkan air bagi PDAM untuk pemenuhan di dunia usaha dengan masyarakat.
Padahal kalau mau kreatif, pemerintah bisa saja memanfaatkan sumber air lainnya. Selama ini kita hanya terfokus pada sumber air sungai untuk pemanfaatan kebutuhan. Kita lupa, bahwa Republik ini adalah negara maritim. Pemerintah memiliki sumber daya manusia yang luar biasa hebat dan cerdas, seharusnya laut itu bisa dipergunakan fungsinya. Orang-orang cerdas bisa melakukan penelitian dan pemanfaan air laut untuk kemakmuran orang banyak. Itu bukan hal mustahil, kalau kita mau berusaha dan mencobanya.
Sebaliknya, jika kita tidak segera melakukan inovasi berdaya mutu tinggi, maka jangan harap sumber air kita terselamatkan.
Hitung saja berapa banyak pabrik di Indonesia yang kini telah melakukan mengeksplorasi air dan atau sumber mata air. Dengan seenaknya mereka menggali air hingga kedalaman berapa meter. Air itu kemudian dikembangkan menjadi air minum.
Padahal kalau mau jujur, tanah galian harusnya diberi meteran. Sehingga di sana ada pengawasan, observasi dan pengkajian. Dari situ rakyat bisa mendapat kebutuhan air sekira 15-30 persen.
Yang terjadi tidak demikian. Jangankan mendapatkan air dan mempergunakan dengan sebaik-baiknya, pemerintah maupun rakyat tidak diperkenankan masuk. Hanya Badan Lingkungan Hidup (BLH) yang diijinkan untuk memantau pemanfaatan air, itu pun harus dibekali surat resmi. Restricted area atau area terbatas, itulah tanda yang terpampang di sana.
Cara-cara ini tak ubahnya konspirasi jahat para konglomerat. Mereka datang ke Indonesia mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan alam dan menjual kembali ke rakyat yang notabene pemilik tanah dan air.
Kalau kita mau mencermati hal ini, banyak orang rela bersengketa demi air. Dalam kapasitas lokal, konflik ini sudah terjadi di beberapa kecamatan di seluruh Indonesia. Hanya masalah pengairan yang tidak merata, para petani saling gontok-gontokan. Dulu masyarakat bersengketa soal tapal batas, kini haluan mereka berubah. Air menjadi faktor utama perselisihan.
Kondisi ini bukan terjadi begitu saja melainkan sudah diciptakan. Secara global, pemerintah harus bertanggungjawab terhadap persoalan ini. Pemerintah tidak boleh tutup mata. Ketika rakyat menghadapi kekurangan air, kekayaan alam yang berlimpah malah dikuasakan pada konglomerat.
Ini merupakan kejahatan terstruktur paling kejam. Perusakan dan eksplorasi berlebihan justru dikategorikan dalam kasus pelanggaran HAM berat. Sayangnya, penyelenggara negara maupun aparat penegak hukum selalu acuh tak acuh.
Air itu sumber kehidupan. Selamatkan sumber air, selamatkan generasi bangsa. Semua orang sepakat. Tapi ada juga yang tidak. Yang tidak sepakat tentu mereka yang ingin mengeruk keuntungan semata. Mereka tidak peduli aset negara terjual habis.
Karena itu jangan biarkan hal ini berlarut-larut. Atau, kita mau melihat sumber air di Republik ini terkikis habis dikeruk ‘orang lain’. Ketika itu terjadi, langkah terakhir yang bisa kita lakukan adalah perang.
Sejatinya, sudah lama kondisi bangsa ini digerogoti oleh ‘penyakit’. Tampak dari luarnya saja Indonesia hebat. Dalamnya; keropos. Soal kekuasaan, Republik ini sampai kapan pun tidak bisa diambil alih. Sayangnya tidak dibarengi dengan penguasaan kekayaan alam dengan baik. Hampir semua energi alam yang terkandung di dalamnya telah dikendalikan koorporasi.
Kita sepenuhnya sadar persoalan ini tapi berpura-pura lupa. Nah, kealpaan kita justru menjadi keuntungan bagi segelintir orang.

Disadur dari Siagaindonesia.com

No comments:

Post a Comment